ips Cara mendidik dan mengatasi anak nakal. Jika membahas soal anak memang gampang-gamapng susah, terutama bagi anak yang nakal repotnya minta ampun. Anak yang nakal dan susah diatur mungkin ada kaitannya dengan latar belakang keluarga itu sendiri. Namun para orang tua yang memiliki anak yang nakal tidak usah bingung bagaimana cara mendidik dan mengatasi anak tersebut, dl mudah-mudahan tips yang saya berikan ini bisa menjadi solusi untuk anda dalam mendidik dan mengatasi anak anda.
Berikut ada beberapa cara mendidik dan mengatasi masalah tersebut:
* Didekati si anak ajak komunikasi sebagai teman
* Diberi kesempatan untuk bercerita tentang hal apa saja yang dia temui
* Diajarai sifat dan sikap tanggung jawab
* Diberi kesempatan untuk bercerita tentang hal apa saja yang dia temui
* Diajarai sifat dan sikap tanggung jawab
Untuk membiasakan anak bertanggung jawab haruslah dimulai sejak dini, tanpa dibiasakan sejak kecil tidak mungkin anak mempunyai rasa tanggung jawab.
* Biasakan anak mengambil dan mengembalikan maiananya sendiri sebelum dan sesudah bermain
* Biaskan anak untuk melakukan tugas-tugas ringan sejak kecil
* Bisakan anak untuk menjaga kebersihan
* Bila nakal tegurlah dan diberi pengarahan
* Bila melakukan kesalahan dengan orang lain biasakan anak untuk minta maaf agar dia mengeri dan menyadari kesalahannya
* Biasakan anak untuk mengucapkan terimakasih bila ditolong atau diberi sesuatu oleh orang lain.
* Biaskan anak untuk melakukan tugas-tugas ringan sejak kecil
* Bisakan anak untuk menjaga kebersihan
* Bila nakal tegurlah dan diberi pengarahan
* Bila melakukan kesalahan dengan orang lain biasakan anak untuk minta maaf agar dia mengeri dan menyadari kesalahannya
* Biasakan anak untuk mengucapkan terimakasih bila ditolong atau diberi sesuatu oleh orang lain.
Di atas tadi merupakan cara mendidik anak, mendidik dan mengatasi anak adalah tanggung jawab kita para orang tua untuk itu jika anda merasa kesulitan mengatasi anak yang nakal segeralah cari solusi agar anda tidak salah dalam mendidik.
BONUS=
Tips: Cara Agar Anak Menaati Peraturan
Tidak ada hal yang lebih membingungkan anak selain peraturan yang setiap hari berubah. Sebagai contoh, Anda mengatakan kepada anak Anda bahwa kalau makan ia harus duduk di meja makan. Tapi, ketika dia makan makanan kecil sambil berlari-larian di dalam rumah, Anda tidak menegurnya. Keesokannya, ketika dia kembali melakukan hal yang sama, Anda marah. Peristiwa semacam itu hanya akan membuatnya kebingungan.
Sebagai orang dewasa kita tahu bahwa suatu aturan ada karena memang ada alasannya. Makan di meja berarti mencegah makanan tercecer ke mana-mana dan mengotori rumah. Larangan makan sambil jalan-jalan memang terasa tidak menyenangkan untuk anak yang tak bisa diam. Lebih-lebih kalau dia juga melihat kakaknya jalan ke sana kemari sambil makan biskuit dan minum minuman ringan, dan toh Anda diam saja. Dalam benaknya anak Anda akan berpikir, “Kalau kakak saya boleh, kenapa saya tidak boleh?” Atau “Hari ini Ibu tidak marah karena saya makan sambil jalan-jalan. Jadi, besok saya juga boleh makan sambil jalan-jalan.”
Anak, dan sebetulnya juga orang dewasa, memang pada dasarnya tidak menyukai peraturan. Tapi mereka mau tahu, bagaimana yang sebenarnya, yang seharusnya. Ini tidak berarti Anda tak bisa bersifat fleksibel. Sering peraturan yang sudah ditetapkan dilanggar karena Anda dan anak-anak tahu ada sesuatu yang istimewa. Misalnya, anak Anda bisasanya harus tidur jam delapan malam. Pada suatu hari, karena kedatangan tamu dari jauh dan Anda menjamu mereka, anak-anak diizinkan tidur jam sepuluh. Keesokan hari, boleh jadi anak Anda akan minta tidur larut lagi. Di sinilah Anda harus bersikap tegas. Anda bisa berkata begini, “Ibu tahu, kamu ingin tidur larut malam lagi. Tapi kemarin malam itu adalah malam istimewa karena kita kedatangan tamu. Malam ini, kamu harus tidur seperti biasa. Lagi pula, besok kamu pasti akan ngantuk sekali kalau setiap hari tidur jam sepuluh.”
Mereka mungkin akan protes. Tapi, anak-anak tetap perlu batasan. Justru pembatasan yang tegas akan memberi mereka pemahaman karena tahu persis apa yang harus mereka lakukan dan apa konsekuensinya jika tidak dilakukan. Anak-anak justru akan sulit berhadapan dengan orang tua yang tak punya kepastian dan tak bisa ditebak. Hari ini begini, besok lain lagi.
Konsistensi menciptakan rasa damai di hati anak. Konsistensi juga memudahkan orang tua di saat menghadapi situasi yang sulit. Banyak orang tua mengeluh tak tahu anaknya mau diapakan lagi padahal semua cara sudah dicoba. Dalam hal ini, tidak jarang, kesalahan orang tua adalah mencoba terlalu banyak cara dalam jangka waktu yang singkat. Perubahan cara dalam waktu singkat itu bisa ditangkap oleh anak sebagai inkonsistensi. Sebagai contoh, untuk mengatasi anak yang suka ngamuk kalau marah, Anda mungkin mencoba dengan memukulnya. Esok harinya, Anda coba mengurungnya di kamar. Kali lain, Anda meneriakinya. Cobalah menggunakan strategi yang efektif dengan cara menerapkannya secara konsisten selama simnggu. Misalnya, setiap kali anak Anda ngamuk, Anda akan mengurungnya di kamar. Kali berikut, kalau dia mulai ngamuk lagi, katakan dengan tenang apa yang akan terjadi kalau dia ngamuk lagi. Anak akan belajar. Jadi, pertahankan peraturan ini.
Sikap tidak konsisten juga bisa terjadi antara ayah dan ibu. Ini harus dihindarkan. Anak bisa mencoba-coba menggunakan taktik mengadu domba ayah dan ibunya. Karena itu, sebaiknya orang tua sudah mempunyai kesepakatan tentang peraturan yang harus dijalankan di rumah. Jika Anda marah, anak tak akan minta pembelaan ayah atau ibunya.
BONUS=
Apa penyebab kenakalan anak? Apa karena minimnya ilmu agama pada mereka atau murni karena takdir? Kami sering merasa malu karena kenakalan mereka. doa dan usaha selalu kami lakukan. Dalam kondisi ini, apa kami mendapat uzur untuk membatasi kelahiran?
Jawaban:
Jawaban:
Saudari hendakah bersyukur kepada Allah karena baru berumur 33 tahun sudah mempunyai 6 anak. Jangan putus asa mendidik anak, karena pahalanya besar sekali, apalagi kalau nanti mereka menjadi anak yang shalih. Berusahalah semaksimal mungkin untuk mendidik anak. Boleh jadi sekarang mereka nakal, tetapi besok menjadi baik. Allah yang membolak-balikan hati manusia maka mohonlah kepada Allah agar anak-anak Saudari menjadi anak-anak yang shalih.
Adapun anak nakal, perlu dicari sebabnya, tidak boleh hanya bersandar kepada takdir. Bila kita dibolehkan bersandar kepada takdir, tentu sia-isalah Allah memerintah kita agar mendidik anak seperti yang dijelaskan di dalam surat Asy-Syu’ara: 214.
Penyebab anak nakal boleh jadi karena pengaruh tontonan di rumah, seperti TV, video, dan lainnya, atau karena pengaruh lingkungan dan kawan yang berakhlak tercela. Oleh karena itu, perlu dicari sebabnya lalu jalan keluarnya. Didiklah mereka dengan akidah yang baik, latihlah mereka untuk mengerjakan shalat, membaca Al-Quran, berakhlaq yang baik, dan setiap harinya selalu diawasi di rumah atau di tempat lain. Jika ada perilaku mereka yang tidak benar, maka sepatutnya diluruskan.
Saudari, jika Allah mencintai seorang muslim maka Allah akan menambah cobaan baginya. Kadang kala kita berpikir, “Mengapa anak tetangga itu baik, padahal dia bersekolah di sekolah umum dan orang tuanya awam, sedangkan kita sudah mulai berilmu dan beramal sholih serta anak sudah dididik tetapi anak masih nakal?” Ini adalah ujian yang harus diterima untuk memperbanyak pahala. Kita hanya diperintah atau berusaha, Allah-lah yang memberi petunjuk.
وَمَا عَلَيْنَا إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (QS. Yasin: 17)
Allah tidak membebani kita melainkan menurut kemampuan kita masing-masing seperti yang dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah: 286.
Saudari tidak perlu membatasi keturunan karena merasa anak Saudari nakal karena boleh jadi anak yang lain akan menjadi anak yang shalih. Tetaplah berdoa kepada Allah dan berusaha semaksimal mungkin dalam mendidik anak dengan baik. Semoga Allah mengaruniai anak yang shalih dan shalihah bagi Saudari.
Sumber: Majalah Mawaddah, Edisi 11, Tahun 1, Jumadil Ula–Jumadil Tsaniyah 1429 H (Juni 2008).
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
BONUS
Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3/3): Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal
Beberapa contoh cara mendidik anak yang nakal
Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[10]
Di antara cara tersebut adalah:
1. Memukul wajah
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]
3. Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]
4. Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]
5. Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]
Beberapa contoh cara mendidik anak yang nakal
Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[10]
Di antara cara tersebut adalah:
1. Memukul wajah
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]
3. Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]
4. Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]
5. Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]
No comments:
Post a Comment