(sumber wikipedia)
Pelantikan Akhmad Fakhrulli sebagai pejabat Walikota Kota Banjarbaru oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid di Jakarta, 27 April 1999, menandakan resminya alih status Banjarbaru dari Kota Administratif menjadi Kotamadia (kota). Perjuangan panjang berbagai pihak akhirnya sampai kepada “idaman antara” setelah Banjarbaru dengan berbagai status administratif dipimpin oleh Baharuddin (1966), A.G. Hanafiah (1970-1975), Abdul Moeis (1975-1981), Abdurrahman (1981-1983), Eddy Rosasi (1983-1984), Zamawi M. Aini (1984-1986), Yuliansyah (1986-1990), Raymullan (1990-1993), Hamidhan B (1993-1998) dan Akhmad Fakhrulli (1998-1999) yang menjadi walikota administratif sekaligus pejabat walikota dan Rudy Resnawan (2000- .....) sebagai walikota terpilih pertama.
Berhasilnya Banjarbaru memperoleh status kota setelah menyandang status kota administratif terlama di Indonesia, 23 tahun, sungguh merupakan momen Banjarbaru memasuki era baru. Adalah DPRD Kota Banjarbaru melalui pemilihan walikotanya, memilih Rudy Resnawan sebagai walikota pertama Kota Banjarbaru, menggantikan Fakhrulli sebagai walikota transisional.
Sekalipun gerak pembangunan “sesungguhnya” dimulai ketika Rudy menjabat walikota, gagasannya sudah dicanangkan seiring dengan umur Banjarbaru. Artinya, setiap walikota, aparat, dan masyarakat telah “berperan” sesuai visi dan kiprahnya masing-masing. Bahwa, Banjarbaru tampak ke permukaan begitu-begitu saja dalam umurnya hampir setengah abad, itu soal lain. Tapi, sejak statusnya berubah menjadi kota, pengenjotannya terlihat lebih serius dan kencang.
Bahkan, dalam rekaman sejarah, pengembangan dan “perjuangan” status Banjarbaru sebenarnya bukanlah sekedar menjadikannya sebagai kotamadia. Bukan pula “hanya” sebagai ibukota Kalimantan Selatan, tetapi ibukota Kalimantan sesuai dengan kondisi obyektif tahun 1950-an ketika Kalimantan belum terbagi menjadi empat provinsi.
Tepatnya, baik perjuangan status maupun pengembangan kota berjalan bersamaan. Suatu “modal” bagi pembangunan Banjarbaru ke depan. Setidaknya, bercermin rekaman historis, kalau kita mampu memaknai, dengan titik berangkat awal millenium III dengan memompakan pride (kebanggaan) bagi seluruh warga adalah titik berangkat sebuah harap masa depan Banjarbaru.
Ketika Gubernuran Tergenang Air
Alkisah, pada suatu pagi di tahun 1951 Gubernur Kalimantan dr. Murdjani beserta staf dan karyawan melakukan apel bendera di halaman Gubernuran. Hujan yang mengguyur mengakibatkan Banjarmasin tergenang air. Ketika memberikan sambutan, air pasang ikut “bergabung”. Akibatnya, upacara terpaksa berpindah tempat. Seperti biasa, dokter bervisi jauh ke depan tersebut hanya bisa mengelus dada tak berdaya menghadapi “keganasan alam” Banjarmasin.
Akumulasi kejadian serupa, apel pagi sering harus berpindah tempat, ditambah pula dengan pandangannya tentang Banjarmasin yang berawa dan bernyamuk banyak, memunculkan gagasan memindahkan ibu kota Kalimantan ke tempat yang ideal. Sebagai ahli kesehatan masyarakat, Murdjani berkesimpulan Banjarmasin kurang ideal sebagai pusat pemerintahan. Tanahnya yang berawa-rawa mengakibatkan air menggenang sepanjang musim yang memungkinkan timbulnya berbagai penyakit.
Pak Dokter yang sangat alergi terhadap “serangan” nyamuk yang tak mengenal musim itu terusik pula dengan kenyataan, membangun fasilitas pemerintahan dan sarana umum memerlukan biaya tinggi. Baginya pembangunan pusat pemerintahan yang ideal haruslah di wilayah yang ideal pula. Melakukan pembangunan di atas tanah padat, bukankah lebih berdayaguna dan berhasilguna dibandingkan dengan membangun di tanah berawa?. Ibukota Kalimantan harus dibangun baru.
Banjarmasin sebagai Kota Air, Kota Perdagangan dan Kota identitas historis Urang Banjar tetap dipertahankan. Membangun ibukota Kalimantan di Banjarbaru didasari pada pandangan pengembangan jauh ke depan.
Untuk merealisasikan gagasannya, mulailah dicari tempat yang ideal. Murdjani melakukan survei ke daerah-daerah di luar kota Banjarmasin. Berbagai lokasi dikunjungi dan diamati, namun Murdjani kurang berkenan karena lokasinya masih berawa-rawa. Akhirnya, sampailah ia di daerah bertanah padat, lokasi Banjarbaru sekarang. Ini dia! Ibukota Kalimantan masa datang !!! Kira-kira begitu teriak hatinya.
Pada pandangan pertama, hatinya telah tergadai pada Banjarbaru. Melalui sidang staf dan pimpinan, dibentuklah tim kajian kelayakan dipimpin D.A.W. Van der Peijl. Tim Peijl melakukan kajian awal. Dalam perancangannya, planologi Banjarbaru digarap bekerjasama dengan para pakar dari Institut Teknologi Bandung.
Peijl, Kepala Pekerjaan Umum Bagian Bangunan Kalimantan, merancang Banjarbaru bersamaan dengan kota Palangkaraya. Palangkaraya kini menjadi kota modern tertata apik. Banjarbaru, setelah 23 tahun berstatus kota administratif, baru mendapatkan status kotamadia. Jangankan menjadi ibukota Kalimantan, untuk terwujud menjadi ibukota Kalimantan Selatan saja tampaknya masih memerlukan waktu yang cukup panjang.
Bahkan, bukan tidak mungkin, gagasan itu akan tenggelam. Karena itu sangat wajar soal kepindahan ibukota Kalimantan Selatan itu layak dihapuskan dari memori. Dan, ketika Rudy Resnawan menjadi Walikota, dengan canangan Banjarbaru is Banjarbaru, membangun Banjarbaru dengan “kekuatan sendiri”, adalah suatu pilihan yang tepat.
Artinya, masyarakat dibawa ke ranah proporsional, membangun Banjarbaru tanpa dikaitkan dengan kepindahan ibukota Kalimantan Selatan. Sejarah telah memampang, kalau “dongeng” itu tetap ditayangkan, pembangunan Banjarbaru akan jalan di tempat. Soal kepindahan ibukota, bukanlah hal terlalu penting. Kalau perlu tolak. Sekarang bangun dulu Banjarbaru.
Bermula dari Gunung Apam
Banjarbaru pada waktu dicanangkan sebagai ibukota Kalimantan “belum apa-apa”. Menurut cerita tetuha, cikal-bakalnya Banjarbaru bermula dari Gunung Apam. Gunung Apam adalah “puncak” perbukitan di lintasan jalan Banjarmasin-Martapura, kira-kira di lokasi Bank BRI Banjarbaru sekarang. Di daerah ketinggian itu belum ada pemukiman. Hamparan tanahnya ditumbuhi padang ilalang dan pohon-pohon yang masih terkesan angker. Di samping lintasan jalan darat, juga lintasan pencari (pendulang) intan tradisional di belakang Unlam Banjarbaru saat ini.
Lokasi strategis tersebut mengundang minat seorang penduduk membuka warung. Pewarung, yang tidak diketahui nama dan asalnya itu, membuka warung kecil-kecilan, menjual minuman teh dan kopi. Wadai (kue) pendampingnya adalah apam (serabi). Tak dinyana, wadai apam tersebut kemudian diperuntukkan menjadi nama daerah tersebut.
Konon, apam tersebut sangat lezatnya hingga digemari banyak orang. Pertama-tama konsumennya para pendulang intan dan sopir truk. Mereka melepas lelah sambil kongkow-kongkow. Kemudian penduduk dari Martapura dan daerah sekitarnya tidak ketinggalan memarakkan apam lezat tersebut.
Bersamaan dengan populernya “Warung Gaul” Gunung Apam, beberapa orang penduduk mengikuti jejak Si Pewarung Perintis. Lama-kelamaan banyak orang yang mendirikan rumah di sekitarnya. Sejak itu, terbentuklah perkampungan penduduk yang populer disebut Gunung Apam. Secara administratif, Gunung Apam termasuk wilayah anak Kampung Guntung Payung, Kampung Jawa, Kecamatan Martapura.
Pada perkembangannya, perkampungan itu makin ramai. Semasa Murdjani menjadi Gubernur Kalimantan (1950-1953), yang terobsesi memindahkan ibukota Kalimantan ke daerah yang lebih ideal, memilih daerah di sekitar Gunung Apam. Tidak mengherankan, begitu “mendapatkan” lokasi baru, kajian planologi segera dilakukan. Sampai akhir masa jabatannya (1953), walaupun secara administratif dan fisik baru pada tahap perancangan, pembangunan perkantoran dan perumahan pegawai Pemda Kalimantan dimulai. Targetnya, ibukota Kalimantan pindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Gagas Murdjani dapat disimak dari suatu pidato visionernya yang dapat dikatakan sebagai obsesinya :
Kira-kira lima ratus tahun yang lalu negeri Amerika Serikat, seperti kita kenal sekarang, hanya suatu impian yang indah. Akan tetapi berkat usaha orang-orang yang dapat melihat dalam jarak panjang, maka impian itu, telah menjadi kenyataan. Dan saya yakin, bahwa Indonesia pun akan dapat mewujudkan cita-cita pembukaan dan pembangunan Kalimantan.
Yang hendak dikatakannya adalah, membangun Banjarbaru dari awal bukanlah hal yang mustahil walaupun pada saat ini lebih terkesan sebagai “mimpi”. Yang diperlukan usaha bersama mewujudkannya. Tepatnya, Murdjani menyampaikan pesan, pembangunan itu, apalagi Banjarbaru yang dimulai dari awal harus direncanakan sebaik mungkin, dibangun bertahap dan berkelanjutan hingga terwujud suatu ibukota yang ideal dan dapat dibanggakan karena tatanannya yang bagus dan menjadi kota modern.
Ketika R.T.A Milono menggantikan Murdjani, usaha pembangunan dilanjutkan. Secara resmi, dengan surat bernomor: Des-19930-41 tanggal 9 Juli 1954 diusulkan kepada Pemerintah Pusat agar Banjarbaru ditetapkan menjadi ibukota Kalimantan. Sekalipun usaha pembangunan Banjarbaru dimulai dari awal menjadi sebuah kota ideal, dan kemudian Kalimantan dipecah menjadi empat (4) provinsi, sejarah nampaknya kurang berpihak.
Tuntutan masyarakat, pihak eksekutif, dan legislatif yang susul menyusul baru menghasilkan status Banjarbaru pada 11 November 1975 sebagai kota administratif. Setelah memakan waktu dua dasawarsa lebih, Banjarbaru “mendapatkan” status kotamadia. Hampir setengah abad, nampaknya belum “membuktikan” gagasan brilian dokter masyarakat itu disahuti secara nyata.
Kini, ketika Banjarmasin berkembang begitu pesat, yang kepadatan dan berbagai dampaknya dirasakan kurang menyamankan, urgensi Banjarbaru sebagai ibukota Kalimantan Selatan memang perlu diseriusi. Tapi, kenyataan berbicara lain. Banjarbaru akan membangun dirinya, Banjarbaru is Banjarbaru. Konsep itulah yang kini tengah digulirkan.
[] Lambang Historis, Potensi dan Obsesi
Pergulatan Banjarbaru menuju ibukota Kalimantan Selatan, awalnya ibukota Kalimantan, sebagaimana digagas dr. Murdjani, nampaknya tidak pernah surut. Hal tersebut terlihat dari paparan “perjuangan” mewujudkan Banjarbaru sebagai kotamadia sekaligus landasan menuju ibukota Kalimantan Selatan. Pihak Pemerintah Kota Administratif Banjarbaru, masyarakat, Pemda Banjar, dan Pemda Kalsel, sesuai dengan “kemampuan” selalu berusaha. Hasilnya saja yang kurang memuaskan.
Secara simpel dapat disimak dari usaha Pemerintah Kota Administratif Banjarbaru dalam usaha “menjemput” status kotamadia. Pemahaman mendalam atas kemampuan berdasarkan simakan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, pada Hari Jadi ke 22, 11 November 1997, digagaslah lambang Banjarbaru.
Pembuatan lambang berkaitan erat dengan makin dekatnya saat-saat perubahan status dari kota administratif menjadi kotamadia. Perjuangan panjang dan persiapan administratif dirasa sudah cukup syarat. Direktorat Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri telah melakukan pengamatan lapangan dan instansi terkait yang tergabung dalam Tim Tekhnis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah pada tanggal 10 April 1997 dengan kesimpulan, Kota Administratif Banjarbaru layak mendapatkan status kotamadia.
Melalui Surat Keputusan Nomor 04 Tahun 1997 tanggal 20 Agustus 1997 Walikota Administratif Banjarbaru membentuk panitia sayembara pembuatan lambang kota Banjarbaru. Sebagaimana dikatakan Drs. H. Hamidhan B, Walikota Administratif Banjarbaru, dalam buku Pembuatan Lambang Kota Banjarbaru: Proses pembuatan Lambang Kota Banjarbaru disusun secara sederhana, berisi sejarah berdirinya Kota Administratif Banjarbaru dan perkembangannya pada masa akan datang.
Perkembangan pada masa akan datang berarti dalam jangka pendek berubah status menjadi kotamadia dan obsesi bagaimana Banjarbaru sebagai Kotamadia Daerah Tingkat II sekaligus ibukota Kalimantan Selatan yang berpilin dalam upaya gerak mensejahterakan masyarakatnya dengan program-program pembangunan tepat sasaran.
Arti dan Makna Lambang
- Bentuk bingkai seperti perisai menggambarkan sebagai alat pelindung dalam mencapai cita-cita luhur Bangsa Indonesia (Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia) dan Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
- Bintang bersudut lima adalah Pancasila sebagai Dasar Falsafah dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
- Tulisan BANJARBARU adalah nama Kota Administratif Banjarbaru (kini Kota Banjarbaru, Pen.).
- Petak/Kotak yang terdapat pada pilar kiri dan kanan masing-masing berjumlah 11 buah. Pilar dan petak menggambarkan tanggal dan bulan serta tahun berdirinya Kota Administratif Banjarbaru, yaitu tanggal 11 dan bulan November. Sedangkan jumlah petak pada pilar kiri dan kanan adalah 22 menggambarkan tahun berdirinya Kota Adminitratif Banjarbaru, yaitu 1975 (1+9+7+5=22).
- Pilar kiri dan kanan juga menggambarkan Banjarbaru sebagai jalur masuk (transportasi) ke Kalimantan Selatan. Sebagaimana terdapatnya Bandar Udara Syamsuddin Noor di Kecamatan Landasan Ulin Kota Administratif Banjarbaru.
- Alat linggangan adalah menggambarkan pendulangan Intan Tradisional Cempaka yang terdapat di Kecamatan Cempaka dan merupakan obyek wisata budaya, dan sejarah di Kota Administratif Banjarbaru.
- Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat (sebagai obyek wisata, sejarah, dan budaya) yang diapit rumah menggambarkan Kota Administratif Banjarbaru sebagai Pusat Pemerintahan dan Pusat Pemukiman.
- Buku adalah menggambarkan Banjarbaru sebagai Kota Pelajar dan Pusat Pendidikan, karena terdapatnya prasarana dan sarana penunjang pendidikan yang memadai dari berbagai disiplin ilmu.
- Roda (gir) menggambarkan roda industri dan perdagangan, karena di Kota Administratif Banjarbaru sangat potensial menjadi Daerah Industri dan Perdagangan.
- Pita berwarna hijau yang bertuliskan motto Kota Administratif Banjarbaru sebagai Pusat Pemerintahan, Pusat Pendidikan, Pusat Industri, dan Pusat Pemukiman, merupakan daerah/wilayah yang Indah, Aman, dan Nyaman untuk mencapai kesejahteraan.
- Warna yang digunakan, terdiri dari 5 (lima) warna utama:
- Warna kuning : Keluhuran, keagungan
- Warna putih : Kesucian
- Warna coklat : Keilmuan, keulamaan, keteguhan dan ketangguhan
- Warna hijau : Kesuburan, kehijauan, kerezekian
- Warna hitam : Kerohanian, keimanan, keteguhan hati.
Motto Gawi Sabarataan.
Motto Gawi Sabarataan yang menjadi tulisan sarat makna pada lambang Kota Banjarbaru berarti :
- Ditinjau dari aspek kerukunan dan persatuan, Gawi Sabarataan menggambarkan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama (Pemerintah dan masyarakat) dimana setiap unsur menyadari tugas dan tanggung jawab masing-masing.
- Ditinjau dari aspek masa depan, Gawi Sabarataan secara operasional dapat memacu motivasi mencapai masa depan yang lebih baik.
- Ditinjau dari etos kerja, Gawi Sabarataan menjadi inspirasi masyarakat Banjarbaru untuk bekerja/berkarya sesuai dengan tugas pokok dan peran masing-masing.
- Pernyataan tekad dan semangat seluruh lapisan masyarakat beserta pemerintah untuk membangun dengan potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kehidupan adil, makmur, dan sejahtera di bawah lindungan dan ridho Tuhan Yang Maha Esa.
- Ditinjau dari segi ajaran agama manusia adalah pemegang amanat Tuhan sebagai penguasa yang harus memakmurkan bumi dan menjaga kelestariannya sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.
Kotamadia Harapan Masyarakat
Perjuangan dan persiapan menjadikan Banjarbaru sebagai kotamadia, seolah telah menjadi bagian terlekad setiap Walikota Administratif Banjarbaru. Berdasarkan apa-apa yang telah dilakukan walikota terdahulu, semasa Hamidhan B. (1993-1998) menjabat walikota ke sembilan, segala sesuatu telah dilakukan dengan sangat serius dan tanpa mengenal lelah.
Persiapan fisik dan nonfisik dilakukan bersamaan dengan tugas rutin pemerintahan dalam usaha dan upaya meraih status kotamadia. Persiapan dan “pembenahan” aparat pemerintahan dilakukan serempak dengan upaya “meyakinkan” Pemerintah Atas (Pemda Banjar, Kalsel dan Pemerintah Pusat). Penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), juga dilakukan lobi-lobi ke Pusat (Jakarta).
Eloknya Dirjen PUOD Depdagri pun melakukan pengamatan dengan hasil rekomendasi Banjarbaru patut menjadi kotamadia. Hasil kunjungan anggota DPR RI pun berkesimpulan menguatkan hasil pengamatan Dirjen PUOD. Lambang Kota Banjarbaru pun siap menanti Banjarbaru era baru.
Sayangnya semua itu belumlah berbuah sebagaimana diharapkan. Sampai Hamidhan B. mengakhiri jabatannya sebagai Walikota Administratif Banjarbaru, Banjarbaru masih berstatus kota administratif. Tetapi, “landas pacu” sudah siap menjemput fajar harapan.
Ketika Akhmad Fakhrulli dilantik menggantikan Hamidhan B., sebagai Walikota Administratif Banjarbaru, 26 Desember 1998, Gubernur Hasan Aman mengamanatkan, agar status kotamadia segera terwujud. Tentu saja hal tersebut merupakan tantangan yang cukup berat bagi Akhmad Fakhrulli. Fakhrulli memfokuskan perhatiannya terhadap perjuangan itu.
Begitu menduduki jabatan walikota, ia bekerja sigap. Konsolidasi dengan staf sembari segera meneliti ulang segala arsip dilakukan tanpa mengenal lelah. Pada bulan-bulan pertama jabatannya, jam kantor molor sampai malam, bahkan kadang-kadang sampai pagi. Penulis (Ersis Warmansyah Abbas) adalah saksi hidup betapa seriusnya Fakhrulli berjuang. Bahkan, dia pernah bilang, kalau saya tidak berhasil menjadikan Banjarbaru kotamadia, Lu jangan lagi panggil aku Abang. Lu, bantu gua apa yang dapat dibantu. Alhamdulillah, Fakhrulli berhasil.
Sebagai “Dubes” (Kepala Perwakilan) Pemda Kalsel di Jakarta, Fakhrulli selalu memonitor perkembangan Banjarbaru. Ketika tanpa diduga dipercaya (menurut pengakuannya) sebagai walikota, bekalnya dirasa cukup. (Sebagai catatan: Akhmad Fakhrulli, sesuai “berita” yang beredar di masyarakat, tidak disebut-sebut sebagai calon walikota).
Jaringan persahabatannya semasa bertugas di Jakarta, dimanfaatkan maksimal. Ia melakukan lobi-lobi intensif. Kantor Depdagri sampai Gedung DPR, menjadi sasarannya dalam memperjuangkan status Banjarbaru. Bersamaan dengan itu, apa yang dilakukan para walikota terdahulu “dipelajari” seksama, tokoh masyarakat diajak berunding, dan komitmen pejabat Pemda Kalsel diperoleh: Banjarbaru akan diperjuangkan all-out menjadi kotamadia.
Alhasil, 11 anggota Komisi II DPR RI pada tanggal 27 Februari 1999, melakukan kunjungan kerja meninjau kesiapan Banjarbaru dalam rangka menyahuti usulan peningkatan status Banjarbaru, dalam rangkaian proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Kotamadia Banjarbaru.
Begitu disyahkan undang-undang tentang Banjarbaru menjadi Daerah Tingkat II, UU RI nomor 9 Tahun 1999, bukan kebanggaan yang ia tonjolkan, tetapi rasa syukur. Selangkah perjuangan telah dilalui dengan baik, katanya. Keberhasilan perjuangan adalah rangkaian hasil usaha dan upaya banyak pihak. Kini saatnya Banjarbaru “dikembalikan” pada rencana awal ketika dirancang.
Tokoh-tokoh penuntut kotamadia Banjarbaru, ulama, tokoh masyarakat, kalangan muda, orang-orang kampus, dan seluruh komponen masyarakat dipadukan dalam rangkaian renungan dan bersyukur ria, bukan berpesta ria dimana-mana. Di mesjid, surau, dan musholla se-antero Banjarbaru dilakukan salat syukur. Dalam pertemuan seusai salat syukur di kediaman walikota, dengan rendah hati Fakhrulli berujar:
Berhasilnya Banjarbaru sebagai kotamadia bukanlah karena saya. Tetapi, karena pian-pian. Inilah hasil perjuangan panjang kita semua. Inilah hadiah buat pian-pian (para tokoh penuntut kotamadia Banjarbaru. Pen.).
Kepada semua pihak yang telah mencurahkan fikiran dan tenaga dalam perjuangan Banjarbaru, terutama pada walikota terdahulu, penghargaan dipersembahkan setinggi-tingginya. Sebab, untaian perjuangan panjang itulah yang akhirnya menjadikan Banjarbaru sebagai kotamadia.
Kini saatnya, siapa saja “kita”, untuk kembali menyatukan tekad dan semangat dalam mengisi Banjarbaru era kotamadia.
Demikian kira-kira inti ungkapan Fakhrulli kepada para pejuang, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak yang telah andil memperjuangkan Banjarbaru. Walaupun peningkatan status kotamadia ketika dia menjadi walikota, Fakhrulli tak hendak membusungkan dada.
Kini tugas Fakhrulli, bukannya lebih ringan. Sebab, begitu dilantik menjadi Walikota Banjarbaru pertama, tugas mempersiapkan segala perangkat Banjarbaru sebagai daerah tingkat II, tentu tidak kalah menantang. Apalagi, era yang akan dihadapi adalah era otonomi. Akankah berhasil? Pertanyaan tersebut tentu tidak perlu dijawab. Kenyataanlah nanti yang akan jadi bukti, dan yang penting, Fakhrulli mengatakan:
Pembangunan Banjarbaru ke depan adalah: dari, oleh, dan untuk masyarakat yang dalam pelaksanaannya bahu-membahu dengan Pemerintah Kota Banjarbaru. Orientasi masyarakat itulah yang menjadi visi pembangunan Banjarbaru.
Bermodalkan hal itu, tampaknya tidaklah perlu gamang menatap masa depan Banjarbaru. Sebab, Banjarbaru diberkahi sumberdaya manusia (SDM) sangat menjanjikan. Namun kesemua itu terletak dari bagaimana warga Banjarbaru “menyadari” agar Banjarbaru tidak lagi “dibodohi” bayang-bayang kepindahan ibukota Kalimantan Selatan hingga lupa membangun kotanya.
[ Banjarbaru : Nama Sementara yang Melekat
Sebagaimana telah diintroduksi, Gubernur Kalimantan dr. Murdjani menggagas pembangunan ibukota Kalimantan di daerah yang kini kita kenal sebagai Banjarbaru. Pada tahun 1953 di daerah “kosong” tersebut mulai dibangun kantor-kantor pemerintahan untuk dinas-dinas, jawatan-jawatan tingkat provinsi, dan perumahan pegawai pemerintah.
Pembangunan dilakukan tanpa anggaran khusus seba- gaimana layaknya persiapan sebuah ibukota provinsi. Oleh karena itu, pembangunannya dilakukan sedikit demi sedikit. “Modal dasar” pembangunan hanya beleid dan kebulatan tekad Gubernur Kalimantan. Bahkan saat itu apa nama kota “calon” ibukota Kalimantan itu pun belum terpikirkan. Dari penelusuran heuristic, tidak didapat secara pasti tentang oleh siapa dan kapan dicetuskan pertama kali nama Banjarbaru. Dan, nama Banjarbaru “dipakai” dalam kondisi emerjensial-konteksual.
Konon, pada saat persiapan perancangan kota, D.A.W Van Der Peijl kebingungan tentang nama yang harus ditulisnya pada peta kota. Secara naluriah ditulisnya Bandjar Baru. Nama itu pulalah yang dikatakannya ketika ditanya Pemerintah Pusat perihal dimana dan apa nama ibukota Kalimantan yang baru.
Harap diingat sekalipun Peijl adalah turunan Belanda, setelah lama tinggal di Kalimantan (baca: Banjar), ia melarutkan diri sebagai Urang Banjar. Dedikasi dan kontribusinya terhadap pembangunan Kalimantan tidak perlu diragukan lagi. Bahkan ada yang mengatakan, Peijl adalah pemangku budaya Banjar yang konsern, komitmennya sangat besar.
Karena itu, penulisan spontannya tentang nama Banjarbaru bagi calon ibukota Kalimantan, dikaitkan dengan gagasan kota baru bagi Urang Banjar, yaitu Bandjar Baru. Banjarmasin sebagai Kota Historis Urang Banjar tidak diganggu-gugat. Banjarbaru adalah perwujudan obsesi ke depan kota modern Urang Banjar.
Jadi, Peijl dan timnya sangat sadar, bahwa Banjarmasin adalah kota yang sarat dengan muatan historis dan merupakan salah satu identitas historis Urang Banjar. Banjarbaru adalah kota yang dirancang untuk menjawab tuntutan masa depan. Sebuah pandangan yang sangat visioner.
Nama kota Banjarbaru pada awalnya bukanlah nama permanen. Penamaan Banjarbaru didorong atas desakan situasional dalam pencantuman nama pada peta awal Banjarbaru dan kemudahan dalam surat-menyurat aktivitas pemerintahan. Nama “permanen” belum terfikirkan.
Dengan kata lain, penamaan “Banjarbaru” hanyalah nama sementara, sangat tentatif, tetapi ternyata hingga saat ini tetap melekat. Tidak satupun keberatan diajukan oleh siapa pun. Banjarbaru kini telah menjadi nama permanen.
Banjarbaru : Cobaan Sejak Dini
Setelah nama Banjarbaru ditorehkan oleh Peijl, tidak ada gagasan atau usaha yang berarti untuk mengubahnya. Tidak ada yang menyadari bahwa nama Banjarbaru pada awalnya bersifat tentatif. Artinya, kalau ada nama yang dianggap lebih tepat oleh masyarakat, terbuka peluang untuk mengubahnya. Atau, memang nama Banjarbaru itu sejatinya sudah sangat tepat?. Wallahualam bissawab.
Yang pasti, secara resmi, Gubernur Murdjani melalui surat tertanggal 9 Juli 1954 No. Des-1930-4-1, jelas-jelas mengusulkan kepada Mendagri, agar menyetujui pemindahan ibukota Kalimantan dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Dengan demikian, secara formal nama Banjarbaru “telah resmi” dan “baku”. Masyarakat pun tidak mempersoalkan. Hal tersebut ditandai dengan alamat yang dipakai, Banjarbaru, baik untuk sekedar menjawab pertanyaan: di mana tinggal?, dan atau alamat yang ditulis dalam surat-menyurat.
Ketetapan tekad memindahkan ibukota Kalimantan ke Banjarbaru tampaknya sejak awal sudah memberi tanda akan berlama-lama. Restu Pemerintah Pusat belum dimiliki, situasi di Kalimantan mengalami perubahan-perubahan yang cepat. Tekad pemindahan itu masih memerlukan berbagai negosiasi yang tidak pernah berakhir.
Ketika Murdjani mengakhiri jabatannya tahun 1953 dan digantikan RTA Milono, provinsi Kalimantan dimekarkan menjadi empat provinsi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Hal ini merupakan jawaban Pemerintah Pusat atas aspirasi masyarakat di Kalimantan Barat, Timur, dan Tengah yang menuntut daerahnya sebagai provinsi tersendiri. Kalimantan terbelah dalam kerangka demi akselerasi pembangunan.
Tuntutan tersebut, sangat beralasan. Luasnya wilayah dan potensi yang dimiliki dipahami sangat mendukung sebagai provinsi sendiri. Apalagi pada masa itu, hubungan komunikasi dan transportasi, sangat minim. Hubungan antara Pontianak, Samarinda, dan Palangkaraya dengan Banjarmasin sangat sulit.
Akibatnya, roda pemerintahan “kurang lancar” yang berdampak kurang efektifnya pelaksanaan pemerintahan. Harap maklum, luas Kalimantan 52 kali pulau Jawa. Pemekaran tersebut, bagaimanapun, berdampak terhadap rencana membangun ibukota Kalimantan yang baru di Banjarbaru. Pemekaran wilayah memerlukan biaya cukup besar. Anggaran belanja provinsi Kalimantan harus dibagi-bagi ke provinsi-provinsi baru, dan pembangunan Banjarbaru tidak mungkin diprioritaskan.
Meskipun demikian, cita-cita menjadikan Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan (Kalimantan Selatan) tidak surut. Hal ini terbukti, DPRD Tingkat I Kalsel, melalui resolusi 10 Desember 1958, No. 26a/DPRD-58, mendesak Pemerintah Pusat supaya dalam waktu singkat segera menetapkan Kota Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.
Rupanya Pemerintah Pusat belum “tergugah”. Sampai Milono digantikan Syarkawi, dan H. Maksid kemudian Aberani Sulaiman menjadi Gubernur Kalimantan Selatan, perjuangan tidak sunyi-sunyinya. Pada masa Aberani Sulaiman terdapat kemajuan, Banjarbaru mendapatkan status Kota Administratif (Kotatif) dan diresmikan 17 Agustus 1968. Kemajuan itu nampaknya mangalami involusi beberapa dasawarsa.
Banjarbaru : Rekor Kota Administratif
Berkenaan dengan usul Gubernur dr. Murdjani dan Resolusi DPRD Tingkat I Kalimantan Selatan kepada Pemerintah Pusat untuk pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru belum mendapat perhatian, Gubernur Kalimantan Selatan memandang perlu untuk menetapkan status kecamatan bagi Banjarbaru dengan kampung-kampung yang berada di sekitarnya.
Berdasarkan SK Gubernur KDH Provinsi Kalimantan Selatan tanggal 29 Mei No. 10/Pem-570-3-3 dibentuklah kecamatan Banjarbaru yang meliputi 7 desa:
- Desa Landasan Ulin
- Desa Guntung Payung
- Desa Lok Tabat
- Desa Banjarbaru
- Desa Sei Ulin/Sei Besar
- Desa Cempaka
- Desa Bangkal
Pada saat itu penduduk ketujuh desa tersebut kurang lebih 25.000 jiwa. Itu dapat dikatakan, Banjarbaru yang “dicalonkan” sebagai ibukota Kalimantan Selatan (setelah gagal jadi ibukota Kalimantan), betul-betul dimulai dari awal.
Pada tahun 1964 DPRD-GR Tingkat I Kalimantan Selatan dalam suatu sidangnya memutuskan untuk memberi wewenang kepada Gubernur Kalimantan Selatan membentuk panitia yang bertugas mengumpul data-data yang sesuai untuk meningkatkan Kecamatan Banjarbaru menjadi daerah tingkat II Kotapraja (sekarang kotamadia).
Resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964, mendesak Pemerintah Pusat agar segera merealisasikan Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Resolusi DPR-GR Kalimantan Selatan tentu saja mendapat respon berbagai pihak, terutama masyarakat Banjarbaru. Dengan segara masyarakat Banjarbaru membentuk Panitia Penuntut terbentuknya Kotamadia Banjarbaru yang didukung oleh seluruh unsur dan organisasi kemasyarakatan. Panitia Penuntut tersebut adalah:
PIMPINAN
- Ketua I : A.M. Abd. Gais (Perseorangan)
- Ketua II : Abubakar Ali (G.P. Anshor)
- Ketua III : M. Hasfiany Shasby (Muhammadijah)
- Penulis I : A. Fadhilah (PNI)
- Penulis II : Djar’ie (IPNU)
- Bendahara : Abd. Ganie (KAMI)
PEMBANTU PARPOL
- Sukardi Djapari (PNI)
- H.S.M Ismail (NU)
- A. Kadir Munsji (Madjelis Wk. NU)
PEMBANTU ORMAS
- A.O. Pudjosanyoto (Angkatan 45)
- Ubangi (Veteran)
- Tarsan Noor (Djamus)
- H. Basri (Madjelis Ulama)
- Hasan Budin (Muhammadijah)
- Soedarsan (Maarif NU)
- Jantje Umboh (PPPKI)
- Hanafiah Abdullah (Pemuda Muhammadijah)
- Saaludin (PII)
- Djunaidi (IPBB)
- A. Sabran (Sarbumi)
- Ibu Sabariah Joenoes (DPW GW Marhaen)
- Ibu Soelaiman (GE Marhaen)
- Ibu Bastian (Muslimat NU)
- Ibu Sitanggang (Perwari)
- Ibu Mindarso (Persit)
- Gt. Zamrud Jasin (Aisjiah)
- Ibu Sitompul (Bhajangkari)
- Ibu Saleh (Persatuan Wanita Pertanian)
- Ibu Mastaniah (Fatajat NU)
- Gt. Mundji (Pertani)
- Thamrin B.Sc. (Pertanu)
- H.S.M. Ismail (Lesbumi)
- R.M. Herusupadi (L.K.N.)
- Ir. Tuhadji (I.S.R.I.)
- Djailani (I.P.P.K.U.)
- Hasjimi Shasby (Ikatan Pemuda Muhammadijah)
- Esmet Enono (G.M.N.I)
- M. Joenoes (Senat Fakultas Pertanian)
- Achmad Djailani (Senat Fakultas Perikanan)
- Riwong Tumon (Senat Fakultas Kehutanan)
- Fadlansjah (Senat Fakultas Tehnik)
- Murhadji (I.M.M)
- S. Almir (Gasbindo)
- Muljadi Joesoep (KAMI)
- Kasnariansyah (KAPPI)
- Ibu Tatung (PGRI)
- Addimaswardi (SKDN)
- Ibu Agus Ibrahim (GOW)
- M. Hamdi Hamdan (SKDN)
- A. Manap Chandra (SKDN)
- Linda Buniran (Natsjiatul Aisjiah)
- Lasmiati Saleh (IPPNU)
- Bachdar Djohan (PMII)
- M. Jusran M. (KB Marhaen)
- Rahmadi HT (HMI)
Begitu Panitia Penuntut Kotamadia Banjarbaru terbentuk, tanggal 6 Oktober 1965, panitia mendesak agar pemerintah:
- Meningkatkan status Banjarbaru menjadi daerah tingkat II/kotapraja (sekarang kotamadia).
- Mendesak direalisirnya kota Banjarbaru menjadi ibukota provinsi Kalimantan Selatan.
Menyahuti tuntutan masyarakat yang makin kencang agar terealisirnya Banjarbaru sebagai kotamadia sekaligus ibukota Kalimantan Selatan, DPRD-GR Tingkat II Banjar di Martapura merespon dengan mengajukan sebuah resolusi tertanggal 12 Oktober 1965 No. 58./DPRD-GR/Res/1965, mendesak Pemerintah Pusat segera memindahkan ibukota Kalsel ke Banjarbaru.
Untuk merespon berbagai tuntutan masyarakat, Mendagri Dr. Sumarno pada tanggal 20 Juni 1965 mengadakan kunjungan kerja ke Banjarbaru. Sebagai “Pejabat Pusat”, Soemarno melakukan peninjauan “menyeluruh” terhadap kondisi obyektif Kota Banjarbaru dan daerah sekitarnya. Kesimpulannya, Kota Banjarbaru layak dan pada prinsipnya menyetujui peningkatkan statusnya dari Kecamatan Banjarbaru menjadi Kotamadia Banjarbaru.
Ketikan Aberani Sulaiman menjadi Gubernur Kalimantan Selatan, setelah menelaah laporan panitia pengumpul data-data untuk pembentukan Kotapraja Banjarbaru tanggal 7 November 1964, dan memperhatikan dan mempelajari resolusi-resolusi yang telah diajukan Gubernur Kalimantan terdahulu, pada tanggal 16 Februari 1966 berdasarkan Surat Keputusan No. 58/I-1-101-110 menetapkan membentuk Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru. Pada tanggal 21 Mei 1966 Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru diresmikan Gubernur Aberani Sulaiman dan menetapkan Baharuddin sebagai Kepala Kantor Persiapan yang juga merangkap sebagai Camat Kecamatan Banjarbaru.
Bersamaan dengan itu, masyarakat Banjarbaru mengeluarkan Pernjataan Bersama Masyarakat Bandjarbaru: Dengan mengutjapkan syukur ke hadirat Tuhan Jang Maha Esa atas karunia-Nya jang dilimpahkan kepada kita bersama dengan memberikan wudjud ke arah realisasi tuntutan hati nurani masjarakat Bandjarbaru untuk menjadikan Bandjarbaru ini mendjadi suatu Kotamadya, maka kami sebagai potensi riil jang hidup di daerah ini mejakinkan kepada diri kami sendiri dan dengan kebulatan hati kami menjatakan pendirian sebagai berikut :
- Menjatakan kesediaan kami untuk bekerdja, berusaha dan melaksanakan sesuatu untuk perwudjudan pembangunan Kotamadya Bandjarbaru, dalam bentuk dan ini jang sebenarnja.
- Menjatakan kesediaan pembaktian kami atas dasar kegotong-royongan membina kesatuan dan persatuan di dalam daerah ini, demi segera terlaksananja Kotamadya Bandjarbaru jang kami tjita2-kan.
- Sesuai dengan tekad kami tersebut di atas, sekali lagi kami mengharap perhatian dan kesungguhan dari Pemerintah, agar dalam waktu jang segera mungkin dapat menetapkan Bandjarbaru ini men-djadi Kotamadya
Bandjarbaru, 21 Mei 1966 Atas nama masjarakat Bandjarbaru
- Baharuddin, B.A (Kepala Kantor Persiapan)
- S.D. Hadiwaloejo (Tjatur Tunggal Ketjamatan)
- S. Hasyim B.A (Panitya Penuntut Kotamadya Bandjarbaru)
- H. Syahmudar Uchtary (Partai N.U. beserta ormas2nya)
- Basuni Moctar (Partai PNI/Front Marhaenis beserta ormas2nya)
- M. Hasfiany Shasby (Muhammadijah beserta ormas2nya)
- Nj. Agoes Iberahim (G.O.W Tjab. Bandjarbaru)
- Sipawarto (P.G.R.I Tjabang Bandjarbaru)
- Ubangi (Legiun Veteran Bandjarbaru)
- H.A. Sjasruni (Atas nama Pamong Desa)
- Drs. Sugianto (S.K.D.N.Tjabang Bandjarbaru)
Atas permintaan dan desakan dari panitia penuntut kotamadia Banjarbaru, disertai understanding dari Bupati dan DPRD Kabupaten Banjar, pada sidang DPRD Kabupaten Banjar tanggal 1 Desember 1966 telah dibuat suatu resolusi No. 19/Res/794-3/66 yang memutuskan:
- Menyetujui dan mendukung sepenuhnya agar Kecamatan Banjarbaru ditingkatkan menjadi Kotamadia.
- Mendesak agar ibukota Prop Kalsel segera dipindahkan dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Setelah kantor persiapan kotamadia Banjarbaru berumur hampir 2 tahun disertai persiapan segala usaha kearah terbentuknya kotamadia, disadari bahwa salah satu syarat pokok berotonomi belum dapat dipenuhi yaitu penghasilan keuangan daerah.
Sesuai dengan status kotamadia yang ingin dicapai, kemampuan keuangan ini baru bisa diatasi kalau Kota Banjarbaru sudah mulai berkembang, baik di bidang perdagangan, industri dan lain-lain. Setelah Panitia Penuntut Kotamadia melakukan musyawarah, diambil keputusan untuk memperjuangkan Banjarbaru pada tarap pertama status Kotamadia Adminstratif.
Dengan status Kota Administratif, maka Banjarbaru langsung menjadi eselon pemerintah dengan Provinsi Kalimantan Selatan dan pembiayaan Kota Banjarbaru langsung pula ditanggulangi oleh Pemerintah Tingkat I Kalimantan Selatan.
Keputusan tersebut disampaikan Panitia Penuntut dengan sebuah pernyataan pada Hari Ultah ke-2 Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru, 21 Mei 1968 kepada Gubernur Kalimantan Selatan. Oleh Kepala Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru diajukan pada Rapat Kerja Daerah Kabupaten Banjar pada tanggal 16-18 Maret 1968 dimana Rakerda menyetujui dan membuat pernyataan agar daerah Banjarbaru pada tahun 1968 ini juga menjadi Kota Administratif.
Bupati Kabupaten Banjar dengan suratnya tanggal 12 Juni 1968 No. I-A-1-1/3-68 kepada Gubernur Kalimantan Selatan mendukung tuntutan Panitia Penuntut tentang status Kotamadia Administratif Banjarbaru.
Gubernur Kalimantan Selatan, setelah menanggapi segala pernyataan dan perkembangan Persiapan Kotamadia Banjarbaru, dengan suratnya tanggal 26 Juli 1968 No. I-1-205-445 meminta pendapat serta pertimbangan dari DPRD Kalimantan Selatan tentang peningkatan Banjarbaru menjadi Kota Administratif.
DPRD Kalimantan Selatan menyetujui peningkatan status Banjarbaru sebagai Kota Administratif dengan Surat Keputusan tanggal 29 Juli 1968 No. 12/DPRD/KPT VII/1968. Berdasarkan persetujuan DPRD Kalimantan Selatan tersebut, Gubernur Kalimantan Selatan mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 12 Agustus 1968 No. 57/I-1-205-612 tentang ditingkatkan Banjarbaru menjadi Kota Administratif.
Pada tanggal 17 Agustus 1968 bertempat di Banjarbaru oleh Bupati Kabupaten Banjar, diserahkan wewenang urusan pemda dan pemerintahan umum daerah Banjarbaru kepada Gubernur Kalimantan Selatan. Dengan demikian Kota Administratif Banjarbaru langsung diurus oleh Pemda Kalimantan Selatan. Tujuannya, agar mempermudah dan mempercepat pembinaan Kota Banjarbaru sebagai ibukota Kalimantan Selatan. Masalah kenyataannya, setelah “ditangani” sekian Gubernur, sekian Bupati, dan 11 Walikota Administratif, barulah 23 tahun kemudian Banjarbaru baru berubah status menjadi kotamadia dengan “mimpi” sebagai ibukota Kalimantan Selatan, itu tentu soal lain. Yang pasti, itulah kenyataan sejarah. Dan, hampir dapat dipastikan, bahwa setiap pejabat pasti merasakan dia sudah berbuat yang “terbaik”. Ini lelucon Abad Lalu.
Sebenarnya, Aberani Sulaiman dengan pidato berapi-api pernah menjanjikan: Selambat-lambatnya pada akhir tahun 1973, ibukota provinsi Kalsel akan berpindah tempat dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Terlepas dari buaian semangat, untuk memimpin pelaksanaan pemerintahan Kota Administratif Banjarbaru, Gubernur Kalimantan Selatan menetapkan Baharuddin sebagai Kepala Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru menjadi Pd. Walikota yang dapat bertindak atas nama Gubernur Kalimantan Selatan.
Sebagai Pembantu Walikota, a.n. Gubernur Kalimantan Selatan, tanggal 30 April 1969, berdasarkan SK No. I-1-1210, dibentuk Badan Penasehat Walikota yang terdiri dari:
- A. Fadhillah, dari PNI sebagai anggota bidang Pemerintahan-Politik
- M. Thamrin, B.Sc dari Partai NU sebagai anggota bidang Ekonomi-Pembangunan
- R. Soeratman S. dari Partai Muslimin Indonesia sebagai anggota bidang Keuangan
- A.M. Abdul Gais, dari Panitia Penuntut Kotamadia Banjarbaru sebagai anggota bidang Kesejahteraan Rakyat.
- Kapt. A. Radiany, dari Sekber Golkar sebagai anggota bidang Pertahanan-Keamanan.
Pada tanggal 5 September 1968, Aberani Sulaiman meletakkan jabatannya sebagai Gubernur Kalimantan Selatan yang kemudian oleh pemerintah pusat ditunjuk M. Jamani sebagai Pejabat Gubernur Kalimantan Selatan. Pada masa Jamani, untuk melengkapi dan mendorong kegiatan para pemuda dibangun gedung Pemuda Kalimantan Selatan yang dibangun di Banjarbaru. Kemudian, diresmikanlah Kota Administratif Banjarbaru dengan pembentukan tiga kantor penghubung yaitu:
- Di Landasan Ulin, meliputi Landasan Ulin dan Desa Guntung Payung.
- Di Banjarbaru,meliputi Desa Loktabat, Banjarbaru Kota dan Desa Sungai Ulin/Sei Besar.
- Di Cempaka, meliputi Desa Cempaka/Sungai Tiung dan Desa Bangkal.
Sebagaimana telah diintrodusir pada awal bagian ini, setelah 23 tahun, setelah perjuangan panjang, dengan dilantiknya Akhmad Fakhrulli sebagai pejabat Walikota Banjarbaru oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid di Jakarta, 27 April 1999, Banjarbaru resmi menjadi Kotamadia (kota).
Ahkmad Fakhrulli yang berhasil “menggoalkan” Banjarbaru menjadi kotamadia, ternyata menjadi walikota Banjarbaru hanya sekitar setahun. Sebab, DPRD Banjarbaru yang dibentuk semasa jabatan Fakhrulli melalui pemilihan demokratis pertama, memilih Rudy Resnawan menjadi walikota pertama Banjarbaru, 12 April 2000. Dan era baru Banjarbaru baru dimulai
No comments:
Post a Comment